Tangisan Bayi Kucing

Suara bayi kucing itu sudah dua hari terdengar. Terus mengeong tanpa henti dari pagi sampai malam hari. Sepertinya usianya baru dua minggu. Seseorang telah membuangnya dekat rumah kami. Kami menyimpannya dalam sebuah kardus di pos kamling depan rumah. Suaranya begitu memilukan. Seolah memanggil-manggil ibunya dan ingin menyusu. Hati saya semakin terenyuh mendengarnya ketika menyusui anak kami. Mungkin ibu kucing pun kebingungan dan sedih kehilangan anaknya. Ah...siapa sih manusia yang tega memisahkan ibu dan anak meski hanya seekor kucing?

Rasa tidak ingin kehilangan dan berpisah dengan buah hati memang naluri alamiah seorang ibu. Naluri inilah yang melindungi bayi sebagai mahluk lemah tak berdaya. Hal ini memang terjadi pada kebanyakan ibu. Namun tidak pada ibu teman saya. Ia dibuang di pinggir jalan oleh orang tuanya saat seumur bayi kucing di atas. Disimpan begitu saja dalam sebuah kardus, hanya karena memiliki kekurangan berupa telapak kaki yang terbalik sejak lahir. 

Beruntungnya ia karena Allah masih menggerakan hati sepasang suami-istri miskin yang menemukannya untuk mengurusnya. Ia bercerita, kalau saja terlambat beberapa menit saja ditemukan mungkin ratusan semut sudah membunuhnya saat itu. Sejak saat itu sepasang suami-istri itulah yang ia kenal sebagai ayah dan ibunya, sedangkan masa lalu dan siapa orang tua kandungnya sampai saat ini masih gelap. Ia pun memutuskan untuk tidak mencarinya karena baginya peristiwa pembuangan dirinya cukup membuatnya menutup lembaran masa lalu serapat-rapatnya.

Usia teman saya terpaut hanya satu tahun saja. Dia lebih muda dari saya. Tapi perjalanan hidupnya begitu kaya dan menjadikannya perempuan setegar karang. Perempuan yang dengan keterbatasannya bisa terus berbagi, menjaga dan melindungi manusia-manusia lemah dan terbuang. 

Pendidikannya tidak tinggi, bahkan SD saja tidak tamat. Tapi bila ia berbicara disebuah forum apakah resmi atau tidak, semua orang akan tersentak karena retorika yang menyengat. Retorika yang tidak mungkin dimiliki seorang yang hanya lulusan SD saja. Awalnya saya sangsi dengan pengakuan tentang jenjang pendidikan yang dimilikinya. Tapi setelah ia bercerita panjang lebar dan deretan buku yang tersusun rapi di kamarnya saya menjadi percaya bahwa teman saya ini merupakan lulusan dari universitas kehidupan. Pembimbingnya langsung adalah Tuhan.

Banyak hal yang membuat saya kagum darinya. Diantaranya adalah keyakinan bahwa Allah maha pemberi rizki. Dia bukan seorang yang memiliki pekerjaan tetap seperti saya. Tentu saja hampir tidak pernah mendapatkan gaji rutin. Tapi sikapnya yang ringan tangan dan selalu menganggap Allah maha Pemurah menjadikan rizki selalu berdatangan menemuinya. 

Hampir bisa dipastikan dia jarang memegang uang. Namun yang pasti setiap kali ia membutuhkan maka Allah menyediakan untuknya. Sebuah rumah besar di pusat kota saat ini sudah menjadi miliknya. Rumah yang saya taksir mungkin seharga 5M lebih. Istimewanya rumah itu bisa didatangi siapapun yang membutuhkan tempat tinggal. Siapapun boleh makan disana. Dia merangkul semua pihak yang lemah dan terbuang.

Terinspirasi darinya tentu saja. Rasa malu juga ada. Betapa hampir 37 tahun saya cenderung mengutamakan diri saya sendiri. Belum bisa berbuat banyak untuk kemaslahatan manusia. Saya merasa sebagai manusia yang senantiasa diberikan keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidup. Namun apa yang sudah saya lakukan dan buktikan kepada sang Pencipta bahwa saya berterimakasih padanya? Mungkin nyaris nol...belum apa-apa. Karenanya saya ingin berusaha memantaskan diri dihadapanNya. Belajar banyak dari teman saya dan sedikit demi sedikit berusaha mewujudkan mimpi saya memiliki pusat perlindungan perempuan dan anak sebagai tempat mengamalkan ilmu dan berbagi kepada sesama. 

Terimakasih Temanku

Catt: tulisan ini saya dedikaskan kepada teman saya aktivis Sekolah Hijau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue

Metaverse Untuk Kuliah Lapangan.